Naskah Monolog Kartini
Hari ini ulangtahun saya yang ke 17,makanya sekarang saya lagi masak buat syukuran kecil-kecilan. Harus masak yang banyak, soalnya keluarga saya juga banyak. Saya akan buatkan masakan yang spesial buat Mbok saya, Bapak saya, buat sebelas adek saya, terutama untuk suami saya yang suka makan, dan untuk anak saya yang sekarang berumur 3 tahun.
Ngomong-ngomong soal masakan, bumbu dapur favorit saya sudah jelas bawang merah. Soalnya cuman bawang merah yang bisa membuat saya menangis tanpa melukai hati. Kalau bukan karena bawang merah, itu artinya saya sedih karena memikirkan status saya. Berpikir bagaimana caranya melepaskan diri dari status yang sepertinya sudah menjerat saya sedari lahir. Status saya yang pertama, saya bukan istri pertama dari suami saya. Saya jadi koleksinya yang kelima. Status yang kedua, saya hanya lulusan SMP. Status saya yang terakhir, saya itu NARAPIDANA. Makanya saya cuman lulusan SMP, mana ada sekolah yang mau nerima narapidana seperti saya.
Kalian gak tahu kalau saya ini narapidana? Nih, sekarang saya sedang diborgol. Sedang terperangkap di antara jeruji besi. Tidak ada satupun orang yang menyadari kalau saya sama buruknya dengan narapidana yang menderita karena kesalahannya sendiri. Tapi apakah karena orang menyebut saya wanita, saya harus hidup dikekang seperti di penjara? Apakah karena saya terlahir sebagai wanita, saya harus menggugurkan cita-cita saya hanya untuk memenuhi permintaan orangtua saya untuk segera menikah?
Kami bicara, tapi dianggap angin lalu. Kami ingin dihargai, tapi dibalas canda gurau. Kami hidup, tapi keberadaan kami tak dianggap. Hingga hinggaplah seekor burung trinil dalam kehidupan kami. Dia hanyalah seekor burung biasa, tapi semangatnyalah yang membuatnya bernilai. Trinil yang riang itu terus maju, meski pemburu mengadahkan senjata di hadapannya. Ia tak takut, terus berkicau membela kawan-kawannya. Ia mematahkan senapan-senapan musuhnya dengan senjata paling mematikan di dunia ̶ pendidikan ̶
Dia, burung trinil yang membentangkan sayap selebar pandangan hidupnya. Ia merangkul setiap mimpi wanita Indonesia dan membawanya terbang tinggi. Dia yang mencelikkan mata kaum Adam, sehingga mereka melihat keindahan seorang wanita, bukan dari parasnya, tapi dari prinsip dan pandangannya. Sekarang, gadis-gadis remaja tak perlu memegang ulegan, sapu, atau kemoceng untuk melayani suami mereka di usia mereka yang sangat dini. Kita sudah merdeka untuk memegang pena, menuliskan jalan hidup kami masing-masing. Menyentuh seluruh isi dunia, hanya dengan membalikkan halaman-halaman buku. Burung trinil telah tiada, tapi kami berjanji untuk menjadi sayap-sayapnya yang setia. Selamat Hari Kartini.
Comments
Post a Comment